Kuliah Tamu: Pengenalan Sistematika Amfibi dan Mengungkap Spesies Baru

Rabu, 22 Januari 2025 – Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Palangka Raya mengadakan kuliah tamu dengan tema Pengenalan Sistematika Amfibi dan Mengungkap Spesies Baru oleh Ade Damara Gonggoli, S.Si, M.Si. Narasumber merupakan alumnus program studi Biologi FMIPA Universitas Palangka Raya. Narasumber menyampaikan, secara umum, ordo amfibi terdiri dari tiga kelompok utama, yaitu Anura, Caudata, dan Gymnoph Secara umum, ordo amfibi terdiri atas tiga kelompok utama, yaitu Anura, Caudata, dan Gymnophiona, yang termasuk dalam kelompok tetrapoda dan vertebrata. Klasifikasi setiap ordo didasarkan pada karakteristik seperti siklus hidup dan proses metamorfosisnya. Di Indonesia, hanya terdapat ordo Anura dan Gymnophiona, sedangkan ordo Caudata tidak ditemukan di wilayah ini karena hanya tersebar di belahan bumi utara. Di Pulau Kalimantan, terdapat berbagai famili amfibi, antara lain Bombinatoridae (1 spesies), Ichthyophiidae (7 spesies), Ceratobatrachidae (3 spesies), Bufonidae (35 spesies), Rhacophoridae (48 spesies), Ranidae (30 spesies), Megophryidae (32 spesies), Dicroglossidae (31 spesies), dan Microhylidae (29 spesies). Secara keseluruhan, terdapat 216 spesies amfibi yang diketahui di Pulau Borneo, dengan 21 spesies berasal dari wilayah Indonesia dan 195 spesies dari wilayah Malaysia.
Selanjutnya disampaikan, amfibi sangat bergantung pada kondisi lingkungan alam, sehingga rentan terhadap kepunahan. Berdasarkan data IUCN, sekitar 41% spesies amfibi terancam punah, terutama akibat kerusakan biodiversitas yang disebabkan oleh perubahan iklim (climate change). Kondisi ini memaksa kelompok amfibi untuk berevolusi, menghasilkan berbagai adaptasi dan fitur unik. Identifikasi spesies amfibi dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan. Pertama, analisis morfologi, misalnya pada beberapa spesies memiliki fitur larva berupa alat sucker untuk bertahan di arus. Kedua, karakter suara atau vokal, di mana suara khas menjadi alat identifikasi. Ketiga, karakteristik telur, misalnya telur yang dilindungi oleh busa atau lapisan jelly untuk menjaga kelembapan dan menghindari predator. Keempat, perilaku, seperti adaptasi berupa penetasan langsung menjadi anakan (direct development), perkembangan berudu di dalam tubuh induk, atau adanya dimorfisme seksual (sexual dimorphism). Terakhir, kode genetik melalui analisis DNA memberikan konfirmasi identitas spesies yang lebih akurat. Adaptasi tersebut mencerminkan keunikan dan ketahanan amfibi terhadap tantangan lingkungan.
Penulis : Cindy Patricia & Nadia
Rosaina Mahriza
Editor : Tri. H.S